Melawan Takdir. Adalah buku Otobiografi motivasi Hamdan Juhannis, dosen sekalgius professor termuda di Universitas Islam Negeri (UIN) Alaudddin Makassar. Terbit pertama kali pada Juli 2013 hingga pada cetakannya yang keenam November 2013, Melawan Takdir bukanlah karya tulis pertama yang berhasil diterbitkan dari seorang yang resmi menyandang gelar professor atau guru besarnya pada usia 37 tahun itu. Jauh sebelum menulis otobiografi motivasi tersebut, ayah dari dua orang putri ini telah aktif menulis berbagai opini yang dimuat di surat kabar.
Prof. Hamdan Juhannis adalah seorang Profesor termuda. Dia enerjik, bugis humoris, dan pandai beretorika. Mungkin ini warisan dari Almarhum Ayahnya yang berprofesi sebagai penjual obat keliling. Dalam bukunya itu menceritakan perjalanan hidup seorang anak yatim miskin dari pedalaman Bone Sulawesi Selatan sampai mendapat gelar Ph.D di Australian National University (ANU), Canberra. ANU adalah universitas yang paling bergengsi di negeri kangguru. Sebuah perjalanan hidup yang tidak mudah bagi seorang anak yatim di pedalaman Bone. Jangankan bercita-cita menjadi profesor, untuk sekolah tsanawiyahpun tidak mudah dilakoninya. Ibunya seorang single parent yang harus berjuang menghidupi empat anaknya. Ayah Hamdan yang sangat menguasai panggung pelataran jalan sebagai seorang penjual obat keliling meninggal dunia disaat Hamdan dan ketiga saudaranya yang masih kecil. Seorang penenun kain sarung sutra itulah profesi yang dilakoni ibunya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Impiannya tidak muluk-muluk, dia hanya ingin anaknya sekolah mengaji yang nantinya bisa jadi guru ngaji seperti ustaz Fathurrahman. "Meskipun ibuku buta huruf latin dan sama sekali tidak punya pendidikan formal, ia sangat sadar akan pendidikan anak-anaknya....." Sepertinya dia sangat yakin bahwa pendidikanlah yang bisa memotong garis kemiskinan yang selama ini menghimpit hidup mereka. Satu semangat yang dimiliki Hamdan diwaktu kecil "Aku harus sekolah" dan dia bersekolah sambil menjual roti Pawa’ buatan neneknya. Semangat itulah yang terus ia jaga sampai akhirnya dia mendapat predikat murid teladan dan naik ke podium. Pengamalaman yang sangat berharga bagi seorang hamdan, karena dia disorot oleh sebuah kamera yang bertuliskan TVRI Ujung Pandang. Dalam hatinya dia seolah berteriak "Aku Masuk Tv" dan kalimat itu diulang-ulang pada setiap orang kampung yang dijumpainya. "....Pikirlah apa yang terbaik bagimu, karena dimanapun kamu kuliah, aku tetap pasti tidak bisa memenuhi tuntutan biaya pendidikanmu dengan pekerjaanku sebagai penenun sarung". Inilah kalimat yang terucap dari ibunya disaat Hamdan tengah beranjak remaja yang mengutarakan keinginannya untuk kuliah. Ada realita kehidupan yang diungkapkan oleh ibunya, tapi tidak mematikan semangat Hamdan untuk melanjutkan sekolahnya. Dia bertekat melanjutkan kuliah sambil menjadi buruh bangunan. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah untuk dilakukan karena menjadi buruh bangunan sangat menguras tenaga. Tapi itu harus dilakukannya untuk menutupi biaya kuliah dan hidup selama di kota.
Namun semua itu tidak menghalangi dia mendapatkan IP 4.0 dan nilai 107 dari 100 untuk kuliah Morphology (ilmu tentang pembentukan kata) dan sarjana terbaikpun disandangnya. Predikat sarjana terbaik ini yang mengantarkan Hamdan mendjadi Dosen di IAIN Aludin Ujung Pandang. Tak lama berselang Hamdam melanjutkan masternya di McGill university Canada dan Ph.D di ANU Canberra. Sampai akhirnya dia mendapat gelar Profesor pada usia kurang dari 40 tahun. “Maka beranilah bermimpi lebih dari ayah, karena masa depanmu ada dalam ruang-ruang mimpimu hari ini (Pesan Prof. Hamdan untuk Alena putri kecilnya).
Di bab akhir buku tersebut (halaman 331), dia mengatakan pada kutipan "Sejak aku kecil dan hidup dalam keadaan miskin, aku setiap saat mendapatkan usapan kepala dari kerabat dengan buaian kata "Bersabarlah karena kamu ditakdirkan seperti itu!" Hamdan Juhannis mengutarakan bahwa perjalanan hidupnya masih panjang. Ia masih punya banyak waktu untuk menapaki nasibnya dan mengubahnya menjadi lebih baik. Ia masih bisa berpindah dari takdir yang satu ke takdir yang lainnya. Cara menyikapi takdir seperti inilah yang menurutnya harus dilawan. "Aku melawan Takdir sperti itu karena menghambat perubahan dan kemajuan yang akan melahirkan jiwa pecundang bukan pemenang". Yang beliau maksudkan pada kutipan tersebut adalah adanya kesalahpahaman, kekeliruan, atau salahkaprah kebanyakan orang dalam menyikapi takdir. Banyak diantara mereka yang telah lebih dahulu menentukan takdirnya sejak awal. Hal itu yang meneybabkan kebanyakan orang berputus asa. Dalam artian banyak pecundang yang lebih senang menunggu nasibnya berubah tanpa harus mengubah sendiri nasibnya selayaknya pemenang. Beliau hanya mencoba melawan takdir yang dibuat oleh orang-orang di sekitarnya.
Buku ini mengajak kita untuk melawan takdir. Bermimpi, berusaha dan berdoa dengan takdirNya karena Tuhan pasti memberikan yang terbaik buat hambaNya. "Itulah takdir, menerima ketentuan Tuhan bukan dari apa yang diinginkan, tetapi Tuhan memberikan dari apa yang dibutuhkan oleh HambaNya."
Comments