Cerita ini berawal lewat pertemuan
di sebuah forum organisasi jurusan. Pertemuan yang sudah menjadi tradisi setiap
tahunan dan saatnya mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makasssar
yang menjadi tuan rumah. Kebetulan pada saat itu masa kepengurusan Himpunan
Mahasiswa Jurusan (HMJ) adalah angkatan 2012 periode 2014-2015. Masa-masa
kejayaan Rinai sebagai pengurus lembaga di kampus.
Awalnya sama
seperti teman-teman peserta lainnya yang berasal dari daerah yang berbeda-beda
adalah teman biasa yang kebetulan dipertemukan karena kegiatan jurusan.
Pertemuan itu tentunya tidak disia-siakan. Saling berkenalan, berdebat di forum
resmi, makan bareng, berbagi pengetahuan, bertukar informasi dan tentunya
tukeran nomer telvon.
Tukeran nomer
telvon? Nyaris semua peserta sudah punya nomer telvon Rinai. Bukan hasil dari
tukeran tapi mereka memang harus menghubungi nomer Rinai setiba di bandara
Sultan Hasanuddin mengabarkan kedatangannya untuk dijemput, nomer yang
satu-satunya terpampang di wall grup
BBM. Rinai tidak punya banyak waktu istirahat untuk banyak bercakap-cakap
dengan mereka karena sibuk ngurusin persiapan-persiapan yang belum kelar.
Mengkoordinir panitia, ngatur ulang jadwal yang lewat, ngecek perlengkapan
acara selanjutnya dan memastikan makanan di dapur.
Sok sibuk? Bukan
juga. Memang sudah ada panitia yang bertanggung jawab di setiap bagian-bagian
tersebut. Persoalan teman-temannya selalu gitu,
ujung-ujungnya minta ke Rinai untuk memastikan semuanya. Mereka sendiri yang
merasa makanannya harus diicip dulu
oleh Rinai karena menurut mereka yang paling jago memasak siapa lagi. Orang
yang bisa menaklukkan panitia yang nyantai siapa lagi. Orang yang ngatur jadwal
dari awal siapa lagi. Nge-MC dan yang
paling dipercaya menyambungkan lidah mereka ke peserta siapa lagi kalau bukan
Rinai.
Diantara mereka,
Rinai memang yang paling banyak pengalaman mengurus lembaga. Rinai menguasai
banyak hal, paling kuat ngomel dan
sering berselisih paham dengan senior cowok. Rinai susah disebut cantik, lebih
gampang disebut gadis manis. Gadis manis dengan keterampilan yang memesona
membuat kebayakan pria lebih tertarik memerhatikannya ketibang teman-temannya
yang cantik.
Sembilan
belas jam telah berlalu sejak acara resmi dimulai. Rinai melirik jam di
pergelangan tangan, sudah menunjukkan pukul 02:15 dini hari. Peserta rapat
mulai menguap tak kuasa menahan kantuk. Lelah dalam perjalanan mengalahkan kopi
hitam nan pahit yang diseduh oleh panitia. Rinai berinisiatif untuk menawarkan
kalau malam ini rapatnya dipending
lebih cepat, selebihnya besok bisa dikelarkan. Kenyataannya, sedari tadi
peserta pun panitia menunggu seseorang untuk menawarkan hal tersebut.
Seketika
semua peserta dan panitia berhamburan. Ada yang bergegas menuju kamar yang
telah disediakan, ada yang langsung ngorok di Aula tempat rapat dan ada juga
yang bertahan melawan kantuk masih mengobrol. Rinai yang sementara itu masih
membereskan beberapa dokumen lalu bergegas menuju kamar panitia.
“Mbak, namanya kalau tidak salah Rinai yah?”
Seketika menghentikan langkah Rinai dan berbalik penasaran tentang siapa yang
menegurnya.
“Selamat
beristirahat, Kak. Betul namaku Rinai.” Setelah menoleh dan menyadari yang
menegurnya adalah salah satu dari peserta, Rinai menjawab sekadarnya lantaran
semuanya harus beristirahat dan kembali memutar badan.
“Eeeii sabar
dulu, Mbak. Namaku Reynata, panggil aja Rey. Minta waktunya sedikit, boleh?”
Memohon sambil mengambil setumpuk berkas di tangan Rinai.
“Ngak bisa, Kak.
Semuanya harus beristirahat.” Menarik kembali berkasnya dengan ekspresi cuek
bebek.
“Tiga puluh
menit, Mbak. Plissss.. plisss.”
Menelan ludah memohon penuh paksaan.
“Baiklah, tiga
puluh menit yah.”
Sembari berjalan
mencari tempat berbincang yang paling nyaman, tiba-tiba Rinai teringat kejadian
yang mengesalkan siang tadi. Rinai yang saat itu sedang asik nge-MC dan di momen terakhir ada sesi
foto bareng tiba-tiba dari belakang seorang pria menarik mike-nya. Seketika menyadari ternyata yang sedang bersamanya adalah
pria yang sama.
Suasana
horor bangunan benteng Somba Opu dengan
angin yang mendesis pilu nyaris membuat Rinai mengurungkan untuk ngobrol. Namun
Rey lag-lagi berhasil menahannya. Rey tahu bahwa yang dibutuhkan Rinai saat ini
adalah hiburan dan rileks melepaskan sejenak beban amanahnya. Lima menit
berlalu.
“Rin,
tadi maaf yah. Kamu pasti kesal sama Aku karena ngerebut mike-nya,” nyengir.
“Wes,
nyantailah.”
“Soalnya
kamu terlihat udah kualahan banget ngurus ini dan itu. Makanya tadi Aku
berinisiatif gantiin teriak-teriak untuk ngumpulin peserta.” Rey menggoda
berusaha mengakrabkan diri sambil tertawa dengan khasnya sendiri. Siapapun yang
mendengar tawanya pasti akan tertawa bersama-sama.
Rey asli dari
Jawa Barat tepatnya di Bogor, mahasiswa semester akhir dari UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Punya kepribadian yang menarik. Humorisnya tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi dengan orang-orang baru.
Tatapannya sedikit menghipnotis. Ekspresi wajahnya bagaikan tak punya masalah
membuat orang di sekitarnya nyaman.
***
Selamat pagi.
Rinai dengan
senyum yang ranum di wajahnya menyapa setiap orang yang ditemuinya. Suaranya
terdengar nyaring membuyarkan mimpi orang-orang yang masih tidur, mengalahkan
dering jam weaker yang mereka pasang.
Dua puluh tiga
jam berlalu kebersamaan mereka. Sebuah penaklukan terjadi, menggurat obsesi
hingga terangkai tak terputus. Rinai mulai mendengarkan bagaimana Rey memanggil
namanya dengan santun. Menikmati setiap senyuman yang disodorkan untuknya.
Detik-detik
berlalu. Jarum jam bagaikan berdetak tidak seperti biasanya. Lebih cepat. Rapat
sudah berlangsung selama empat jam tiga puluh menit setelah pending. Pukul 12:00 waktunya istirahat,
makan dan sebagainya. Rinai yang terlihat begitu menikmati kebersamaan di
antara mereka justru mulai khawatir akan datangnya sebuah perpisahan. Semuanya
akan berlalu, itu pasti.
Sementara Rey,
dia nyambung dengan siapapun yang diajaknya ngobrol. Salah satunya adalah Andin
yang kebetulan teman akrab Rinai. Sesekali bertanya tentang Rinai.
“Din, punya akun
facebook ngak?
Andin ngangguk.
“Add akun facebook Aku dong.” Rey nyengir, “Rinai juga punya akun facebook nggak, sih? Bagi dong nama
akunnya.” Rey menyodorkan gedjetnya,
minta nama facebook Rinai dituliskan.
Andin selalu
tepat memberikan informasi Rinai sesuai yang diinginkan Rey. Andin cukup
mengerti karena sempat memergoki mereka berdua ngobrol waktu itu. Saat yang
lainnya sudah terkapar, mereka berdua justru asik cengegesan. Ternyata
menghabiskan waktu lebih dari satu jam. Bukan tiga puluh menit.
Pukul 21:15,
malam ke dua dan malam terakhir. Rapat masih berlanjut dan berlangsung dengan lancar.
Meski beberapa kali suasana berubah tegang karena berselisih paham. Itu masih
wajar dalam sebuah rapat. Rinai jenuh dengan suasana rapat, mulai melakukan
sesuatu untuk mengalihkan kejenuhan.
Rinai
mengeluarkan gedjet dari saku dress yang dipakainya. Mengutak-atik
aplikasinya dan... taraaaa, nama Rey
muncul di pemberitahuan permintaan pertemaan.
“Tuh,
ada yang add, Rin.” Andin mendekat,
melihat layar gedjet. “Di approve dong, Rin. Kok cuman diliatin.”
“Apaan
sih, Din.” Wajahnya merah merona digodain Andin. “Ini baru mau di approve.” Berusaha terlihat santai di
depan Andin.
Andin
tertawa, mengangguk. Melihat senyum Rinai yang kian ranum di wajahnya.
Mengamati Rey dari jauh yang juga sedang melototin layar gedjetnya. Berkesimpulan kalau Rinai sudah nge-approve. Mereka berdua nyaris tidak lagi memperdulikan rapat.
Mereka sibuk dengan gedjet-nya
masing-masing.
***
Pagi pukul
08:00. Hari ke tiga sekaligus menjadi hari terakhir kegiatan mereka di
Makassar. Mereka sudah saling bertukar informasi, bercanda, berkomunikasi
layaknya teman lama.
Keliling Kota
Makassar. Agenda terakhir sebelum mereka betul-betul harus berpisah.
Memperkenalkan bagaimana budaya masing-masing sembari menatap langit kota yang
coklat, antrian mobil akibat macet, dan kaca-kaca gedung pencakar langit. Rey
menggunakan motor scooter milik Rinai untuk mengelilingi Kota Makassar. Rinai
menuntun. Sementara yang lainnya menggunakan Bus kampus.
***
Hari demi hari
telah berlalu. Jarak boleh memisahkan mereka. Tetapi komunikasi tetap terjalin.
Keindahan hidup, saling support, dan
perhatian menjadi santapan dalam komunikasi mereka. Sampai pada akhirnya Rinai
mulai merasakan keanehan dalam perasaannya sendiri. Ada rasa yang tak dapat
terucapkan, ada rindu yang tak mungkin terjamah olehnya.
Rinai mulai
menaruh harapan bahwa suatu saat nanti mereka akan bertemu. Memiliki rasa yang
sama dan kuat. Ada masa yang hilang, ada rindu yang datang dan tersimpan di sudut
hati.
Rinai memulainya
dengan sebuah kepercayaan, ketika sosok Rey mulai menitipkan jejak di setiap
episode hidupnya. Bagaimana bisa Rinai memungkiri, perasaan menyenangkan yang
telah diciptakan Si manusia aneh terus membuatnya nyaman. Manusia aneh? Itu
panggilan Rinai untuk Rey. Rinai menjadikan Rey salah satu manusia favoritnya.
Rinai tak memujanya, hanya terasa baginya Rey begitu hebat.
Ketika malam
mulai berganti hari, hari berganti malam kembali. Rinai seketika tersadar, itu
hanyalah harapan kosong. Rinai berusa mengingat-ingat terakhir kali Rey
menghubunginya. Hari terakhir Rey mengistimewakannya. Istimewa? Tentu saja
istimewa buat Rina karena perlakuan Rey yang berbeda.
Selang beberapa
hari dari hari itu, Rinai mulai merasa ada yang berbeda darinya. Sedih. Tapi
apa yang bisa Rinai perbuat? Rinai tidak tahu apa yang sedang Rey pikirkan
apalagi yang dilakukan karena jarak mereka yang terlalu jauh.
Bersambung......
Fitriani Ulma
Gowa, 29 Juni 2015
Comments