(Fitriani Ulma)
Setiap orang pasti memiliki yang namanya kelebihan dan kekurangan. Ada orang yang dengan mudahnya menulis dan ada juga orang yang mengaku bahwa dirinya susah menulis. Setiap orang pasti tak akan pernah bisa lari dari yang namanya menulis. Mulai dari menulis SMS, pesan, memo, surat dan semacamnya. Tak mesti kalangan akademika saja yang harus bisa menulis, para pedagang, tukang ojek, dan juru parkir bahkan pengemis pun perlu bisa menulis.
Setiap orang pasti memiliki yang namanya kelebihan dan kekurangan. Ada orang yang dengan mudahnya menulis dan ada juga orang yang mengaku bahwa dirinya susah menulis. Setiap orang pasti tak akan pernah bisa lari dari yang namanya menulis. Mulai dari menulis SMS, pesan, memo, surat dan semacamnya. Tak mesti kalangan akademika saja yang harus bisa menulis, para pedagang, tukang ojek, dan juru parkir bahkan pengemis pun perlu bisa menulis.
Jadi, semua orang sebenarnya punya kemampuan
untuk menulis. Hanya saja sejauh mana kemampuan itu diasah untuk
membuat tulisan yang tak biasa. Sebagaimana menulis itu adalah suatu
kegiatan merangkai 26 huruf menjadi satu kata dan disusun menjadi
kalimat dalam satu paragraf yang bisa dimengerti maknanya.
Teringat saat aku masih duduk di bangku SD tepatnya 12 tahun silam. Aku
paling anti dengan yang namanya pena dan kertas kemudian menulis. Namun
karena tuntutan sebagai Siswi mengharuskan aku bersahabat dengannya.
Entah... Mungkin karena saat itu aku cemburu melihat teman-teman dengan
mudahnya menulis, saat Guru memberi evaluasi tentang menulis puisi.
Atau karena hati ini tak bisa menerima atas perkataan Sang Guru yang
mengatakan "Kenapa kamu bodoh sekali, menulis puisi saja tidak bisa
bagaimana kalau evaluasi membaca puisi nanti?" ketusnya.
Aku yang
saat itu walau mengakui kekurangan dan sorakan teman-teman membuatku
tak mampu berkata apa pun juga tak menitihkan air mata atas perkataan
Sang Guru namun sakitnya mampu menyayat dan merobek-robek kedalaman
hatiku.
Atas kejadian itu sehingga tangan yang tak biasa meraih
benda bernama buku dan pena yang telah lama merindukan genggaman
jemariku mampu menari dalam buku diary tentang pahit manis dan kerasnya
perjuangan ditengah-tengah ketatnya persaingan.
Berawal dari
keseringan menulis diary sehingga semakin beranjak remaja aku mulai suka
menulis banyak hal seperti puisi, cerpen atau tulisan bebas seperti
ini. Bukan cuman suka menulis akan tetapi dari sekedar sumbangsi sampai
mengikuti lomba baca puisi hingga tak jarang ku mengantongi piala juara.
Seiring berjalannya waktu. Detik berganti menit, jam berganti hari, dan
bulan berganti tahun. Aku mulai mempunyai keinginan untuk menjadi
seorang Penulis. Berbagai Lembaga kepenulisan kugeluti untuk mengasah
kebiasaan menjadi bakat. Shering dengan orang-orang sukses serta bergaul
dengan penulis-penulis hebat dan luar biasa.
Dan takdir
mempertemukan aku dengan seorang gadis bernama RezKy Ayhu Amaliah
(kyki). Kyki, dia adalah gadis cantik, baik, cerdas, ketua Forum Lingkar
Pena (FLP) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar dan
karyanya hampir 50 Antalogi yang sudah di bukukan. Saat ini, yang
kujadikan motivator dalam tulisanku adalah dia. Meski ku tak cantik,
baik dan secerdas RezKy Ayhu Amaliah tapi aku ingin seperti dia dengan caraku sendiri.
"Intinya komitmen setelah komitmen kuat maka konsistenlah dengan komitmen tersebut." Jawaban sederhana Kyki.
Komitmen dan konsisten. Inilah jawaban singkat yang diselipkan dalam
jawabannya tiap kali ku bertanya padanya. Dua kata ini kerap kali
diucapkan juga saat memberi motivasi di forum.
Walau
kedengarannya sederhana akan tetapi dua kata ini mampu memotivasi dan
selalu terngiang saat ku mulai lengah menulis. Karena komitmen yang kuat
serta selalu konsisten sehingga melahirkan sebuah karya dan akhirnya
terpilih kemudian dibukukan dalam sebuah antalogi puisi berjudul "Cahaya
99".
Terbitnya "Cahaya 99" bukanlah akhir dari perjuanganku.
Salah satu Lembaga yang kugeluti saat ini mengadakan Sekolah menulis
esai kurang lebih selama sebulan. Sepekan telah berjalan, berharap
meninggalkan jejak pada kesempatan ini.
Entah... Mungkin karena
baru pertama kali, menulis esai ternyata sulit dan tak semudah menulis
cerita pendek, puisi, atau sekedar keluh kesah tentang rindu renjana
kepada kekasih yang tak kunjung tiba.
Menulis esai itu diibaratkan seperti ketika hendak menjemur cucian.
Apabila baju yang basah kurang kuat diperas, maka saat dipakai akan
berbau apek.
Seperti halnya essai, kalau belum kuat ide diperas
setelah dibilas dengan informasi di sekitarnya, kemungkinan besar essai
akan berbau apek dan berjamur. Tidak segar.
Sepertinya sekarang
ini, aku tengah mengalami kebuntuan menulis. Pada saat aku berhadapan
dengan laptop, seketika pikiranku menjadi penuh dan berhenti. Aku tak
menuliskan apa-apa pada akhirnya. Dan aku tidak menulis.
Kata
Putu Wijaya “kreativitas itu harus diperkosa”. Kita harus melatih rasa,
dan sense untuk menulis. Saat buntu, cobalah untuk menulis apapu yang
ada difikiranmu, lalu akhirnya akan tiba pada satu hal yang diinginkan.
The important thing is to keep going.Yang terpenting adalah aku tetap
menulis dan jangan pernah lari dari kebuntuan. Jalan sempit dan berkelok
kelok itu adalah jalan orang jenius. Hanya butuh lebih keras lagi untuk
bisa melewati titik buntu ini.
Aku mengharap bimbingan dari kak Juminah Journalist
karena selain berpengalaman juga karyanya telah banyak dimuat di
berbagai media dan mengantongi sejumlah juara. Semoga bisa membantu dan
ada waktu untukku di tengah kesibukannya dengan Skripsi .
Aku tak pernah membeci Sang guru dengan perkataan dan teman-teman yang
pernah bersorak padaku. Atas perkataan dan sorakan merekalah yang
membuatku seperti ini.
Writing is a craf, menulis itu butuh
keahlian. Untuk menjadi ahli itu butuh latihan, Latihan itu butuh
kebiasaan. Kebiasaan itu butuh sering melakukannya (konsisten).
So, let’s just writing
Semoga aku tetap konsisten dengan apa yang telah menjadi komitmenku…
Semoga aku tetap konsisten dengan apa yang telah menjadi komitmenku…
Minggu, 26 Oktober 2014
Comments