Apakah
kau ingat pertemuan kita? Sejenak. Kala itu, di antara senja yang terbenam di
kaki cakrawala dan lantunan ayat-ayat Ilahi mulai dikumandangkan. Tapi
entahlah, mungkin hanya aku yang menyebutnya sebagai pertemuan.
Aku
hanya ingin kau tahu sesuatu. Tidak peduli kau akan menganggapku seperti apa
ketika kalimat pengakuan kuucapkan lewat tulisan ini. Tidak peduli dengan
sunggingan bibirmu yang kecut ketika kau membaca tulisan ini dan tahu bahwa
kata-kata yang sedang kau baca adalah tentangmu. Tidak peduli kau mengetahui
betapa picisannya aku yang tidak pernah alpa membaca timelinemu di media
sosial. Aku mendakak menjadi stalker tingkat dewa.
Aku
masih ingat suaramu yang renyah. Wajahmu yang sulit dikatakan gagah tapi lebih
gampang disebut teduh. Bagaimana ujung matamu berkerut ketika tersenyum. Lalu
bagaimana bisa aku merasa kau orang yang menyenangkan dan membuatku ingin
menjadi bagian dari sekelumit orang yang berjuang bersamamu.
Hingga
pada suatu ketika, waktu mempertemukan kita kembali. Jikalau pertemuan pertama
adalah sebuah kebetulan, tidak dengan pertemuan ke dua, ke tiga dan selanjutnya.
Ialah pertemuan yang telah disepakati. Lalu setengah dari hari itu ada koma di
antara kata-kata. Ada mata-mata yang saling menatap hangat menyaksikan
pertemuan pun menghangatkan rindu-rindu yang terpendam.
Pada
pertemuan. Aku menjadi sangat khawatir kau bisa menangkap binar lain dari
mataku. Aku tidak bisa menjamin aroma cinta yang memenuhi ruang hatiku, tidak
sampai ke hidungmu yang hanya setapak jaraknya.
Barangkali
kau memang tidak menyadari betapa aku memperhatikanmu. Mengagumimu adalah
kebahagiaan yang tidak terlukis pun tidak terucap. Menyukaimu selama ini
membuatku banyak tahu tentangmu. Mataku terbiasa menangkap sosokmu dari
kejauhan. Sampai mengenali kendaraanmu di tempat parkiran.
Aku
bahkan pernah membayangkan hidup bersamamu. Namun kenyataannya menyapamu saja adalah
keraguan untukku. Aku tidak berani mendekatimu untuk mengusir jenuhmu yang
tiba-tiba menyerang. Membantu menyelesaikan pekerjaanmu yang bertumpuk. Menghidangkan
masakan dengan buatanku sendiri. Makan bersamamu. Aku ingin melakukan ini dan
itu untukmu.
Diam
sembari menyebut namamu dalam dawai-dawai doa mungkin adalah jalan terbaik.
Jika memang harus merelakanmu, paling tidak aku pernah menyemogakanmu dalam
pengharapan. Bisa memilikimu adalah bonus dari sekian banyak rapal doa yang tidak
pernah alpa kukirimkan dalam lima waktuku.
Terima
kasih telah pernah ada dan menyadarkanku bahwa cinta bukan hanya perkara
memiliki tetapi juga bagaimana merelakan. Sampai ketemu ditakdir yang telah
ditetapkan.
Fitriani Ulma
Makassar,
30 November 2016
Comments